Etika Mengambil Laba Dalam Islam - Banyak cara yang dapat ditempuh
seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, misalnya berdagang
(berniaga). Berdagang merupakan cara yang efektif untuk mendapatakan keuntungan
atau laba. Di samping itu, juga menjadi sarana yang dapat mendekatkan seorang
hamba terhadap Tuhannya. Di mana, berniaga dapat membantu sesama saudara yang
membutuhkan barang komoditas.
Berdagang pernah dipraktekkan Nabi Muhammad saw. di saat
usianya baru menginjak 13 tahun. Usia yang bisa dibilang cukup belia. Bersama pamannya
beliau berdagang ke negeri Syam untuk menyalurkan barang-barang dari Makkah. Imam
madzhab pun juga pernah berniaga. Abu Hanifah adalah salah satu dari imam
madzhab yang dikenal sebagai pedagang yang cukup sukses. Namun, beliau lebih
dikenal sebagai pengarang kitab (mushannif) daripada saudagar, karena
yang dominan pada beliau adalah ke-ulama’-annya. Sehingga, sisi yang lain tidak
banyak terungkap di permukaan.
Praktek jual-beli (berdagang) dalam bahasa Arab dikenal
dengan istilah ba’i dan tijarah. Ba’i dan tijarah memiliki perbedaan
makna, di mana ba’i adalah tukar menukar barang dengan yang lain sebatas ingin
memenuhi kebutuhan tidak sampai pada keinginan mendapatkan keuntungan atau
laba. Beda halnya dengan tijarah yang lebih menitikberatkan pada hasil atau
laba. Namun, pada intinya keduanya memiliki satu tujuan, yaitu untuk memenuhi
kebutuhan, baik bertujuan mendapatkan hasil atau tidak.
Ulama fiqh mengkategorikan jual beli sebagai usaha yang baik.
Jual beli menempati posisi nomor tiga setelah bercocok tanam (bertani) dan
perindustrian. Al-Malibary menuturkan dalam kitabnya, Fath al-Mu’in,
فتح المعين -
(ج 2 / ص 355)
(فائدة) أفضل المكاسب
الزراعة ثم الصناعة ثم التجارة
“Usaha
yang terbaik adalah bercocok tanam, perindustrian, kemudian perniagaan.”
Muhammad Syattha al-Dimyati dalam kitabnya, I’anah
al-Thalibin, mencoba mengurai alasan perniagaan masuk dalam usaha yang
baik. Menurut beliau, tidak sedikit dari kalangan sahabat yang melakukan
praktek jual beli dan dari hasil perniagaan itulah mereka dapat memenuhi
kebutuhan hidup mereka.[1]
Jual beli yang dimaksudkan al-Malibary tentu jual beli yang
tidak mengandung unsur penipuan atau gharar yang bisa merugikan salah satu dari
kedua belah pihak yang bertransaksi. Dalam arti, pihak pembeli dan penjual
sama-sama rela serta tanpa ada unsur keterpaksaan dalam bertransaksi.
Dalam berniaga, tentu yang menjadi prioritas utama adalah mendapatkan
keuntungan atau laba. Namun, terkadang seseorang lupa akan etika jual-beli,
sehingga memiliki kecenderungan untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya
tanpa memperhatikan pihak konsumen (pembeli). Padahal tujuan jual-beli
sesungguhnya bukan semata-mata murni mencari keuntungan atau laba, namun juga
membantu saudara yang sedang membutuhkan.
Keinginan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya akan
berdampak pada kecenderungan pedagang untuk berbuat negatif serta berbohong,
menipu, manipulasi, bersumpah-serapah, mengambil kesempatan dalam kesempitan,
dan lain-lain. Hal ini tentu sangat dilarang oleh Islam. Nabi saw. bersabda,
سنن الترمذى - (ج 4 / ص 471)
التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الْأَمِينُ
"Pedagang
itu (harus) jujur dan terpercaya".
Dalam kesempatan yang lain, Nabi saw. pernah ditanya
sahabatnya perihal usaha yang baik untuk dikerjakan, sebagaimana dalam
haditsnya,
مسند أحمد بن حنبل -
(ج 4 / ص 141)
أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ
قَالَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُوْرٍ
“Usaha
apakah yang paling baik, Nabi menjawab: Pekerjaan seseorang dengan tangannya (jerih
payahnya) dan tiap-tiap jual beli yang mabrur.”
Mabrur maksudnya adalah jual beli yang terbebas dari penipuan
dan kecurangan. Termasuk dalam kriteria curang adalah melakukan sumpah palsu
untuk menarik perhatian konsumen. Tak heran, bila Islam melarang praktik
penawaran untuk mengecoh minat konsumen (najsy) dan lain sebagainya yang
berpotensi merugikan pembeli.
Kecenderungan untuk mengambil laba setinggi mungkin pada
biasanya dilakukan pada momen-momen tertentu. Semisal hari raya ‘idul fitri,
tahun baru, hari natal, dan seremonial yang lain, semisal pengajian, konser,
dan lain-lain. Pada hari-hari inilah, para penjual dengan berbagai alasan,
menaikkan harga barang tanpa kenal kompromi. Tak ayal, para konsumen pun banyak
yang mengeluh.
Berbicara tentang laba atau keuntungan, tentu yang dimaksud
adalah hasil yang diusahakan melebihi dari nilai harga barang. Dalam pandangan
Wahbah al-Zuhaili, pada dasarnya, Islam tidak memiliki batasan atau standar
yang jelas tentang laba atau keuntungan. Sehingga, pedagang bebas menentukan
laba yang diinginkan dari suatu barang. Hanya saja, menurut beliau keuntungan
yang berkah (baik) adalah keuntungan yang tidak melebihi sepertiga harga modal.[2]
Ibnu Arabi juga memberikan komentar tentang batasan
pengambilan laba sebagai konsep penetapan harga. Menurut beliau, penetapan laba
harus memperhatikan pelaku usaha dan pembeli. Oleh karena itu, pelaku usaha
boleh menambah laba yang akan berakibat makin tingginya harga. Sedangkan
pembeli juga diperkenankan untuk membayar lebih dari harga barang yang
dibelinya.
Beliau juga mengatakan, bahwa tidak boleh mengambil
keuntungan terlalu besar. Beliau mengkategorikan hal tersebut dengan orang yang
makan harta orang lain dengan jalan yang tidak benar, di samping itu juga masuk
dalam kategori penipuan. Karena dalam pandangan beliau, hal itu bukanlah tabarru’
(pemberian sukarela) juga bukan mu’awadhah (tukar-menukar), karena pada
biasanya dalam mu’awadhah tidak sampai mengambil laba terlalu besar.[3]
Pendapat Ibnu Arabi ini sama dengan pendapat yang dikemukakan
Imam Malik bin Anas. Dalam pandangan Imam Malik, pelaku usaha atau pedagang
pasar tidak boleh menjual barangnya di atas harga pasaran. Mengingat, mereka
juga harus memperhatikan kemaslahatan para pembeli. Sedangkan menjual barang
dengan harga di atas harga pasaran (normal) akan mengabaikan kemaslahatan
pembeli. Bahkan, dalam hal ini beliau memberikan peringatan dengan sangat tegas.
Kalau sekiranya ada pedagang (di pasar) menjual di luar harga pasaran, maka
harus dikeluarkan dari pasar tersebut.[4]
Sedangkan menurut sebagian ulama dari kalangan Malikiyyah
membatasi maksimal pengambilan laba tidak boleh melebihi sepertiga dari modal.
Mereka menyamakan dengan harta wasiat, di mana Syari' membatasi hanya sepertiga
dalam hal wasiat. Sebab wasiat yang melebihi batas tersebut akan merugikan ahli
waris yang lain. Begitu pula laba yang berlebihan akan merugikan para konsumen
(pembeli). Oleh sebab itu, laba tertinggi tidak boleh melebihi dari sepertiga.[5]
Islam memang tidak memberikan standarisasi pasti terkait
pengambilan laba dalam jual beli. Kendatipun begitu, sepantasnya bagi seorang
muslim untuk tidak mendhalimi sesama muslim yang lain dengan mengambil
keuntungan terlalu besar. Harga yang sangat mahal karena keuntungan yang diambil
sangat besar tentu sangat memberatkan kepada pihak pembeli. Dalam hal ini,
tidak akan ada istilah tolong menolong yang sedari awal sangat diwanti-wanti
oleh Islam. Islam tidak melarang untuk mengambil keuntungan, namun dalam batas
kewajaran.
Tirulah mu’amalah yang dilakukan Nabi, di mana beliau
tidak jarang menyebutkan harga pokok barang agar konsumen (pembeli) tidak
merasa rugi dan dipermainkan dengan harga. Dengan demikian, tidak ada pihak
yang merasa dirugikan. Toh, pembeli juga rela dengan laba yang diambil pihak
penjual asalkan sewajarnya.
Terima kasih atas kunjungan nya, Untuk Melihat Artikel lainnya,
Silahkan Lihat Daftar Isi
Silahkan Lihat Daftar Isi
Suluah Bendang
Etika Mengambil Laba Dalam Islam.
Author by : Edi Murfin. Sabtu, 31 Agustus 2013
Description : Etika Mengambil Laba Dalam Islam - Banyak cara yang dapat ditempuh seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, misalnya berdagang (bernia...
Mari Bantu Membagikan Etika Mengambil Laba Dalam Islam ini. Melalui Sosial Media Dibawah, Insya Allah akan membawa Baraqah bagi kita semua. Aamiin YRA
Author by : Edi Murfin. Sabtu, 31 Agustus 2013
Description : Etika Mengambil Laba Dalam Islam - Banyak cara yang dapat ditempuh seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, misalnya berdagang (bernia...
Mari Bantu Membagikan Etika Mengambil Laba Dalam Islam ini. Melalui Sosial Media Dibawah, Insya Allah akan membawa Baraqah bagi kita semua. Aamiin YRA
Posting Komentar