Ekonomi Islam - Belakangan ini, makin menarik perbincangan seputar ekonomi Islam. Salah satu pemicu utama, keberhasilan perbankan syariah menunjukkan ketegarannya saat dihantam krisis ekonomi tahun 1997. Bahkan, prestasi ini membuat persepsi yang agak salah kaprah, bahwa ekonomi Islam identik dengan bank Islam.

Kita patut bersyukur dengan makin berkembangnya kajian tentang ekonomi Islam, saat kita membutuhkan banyak terobosan untuk mengajarkan Islam kepada masyarakat. Setidaknya, dengan ini dakwah tentang bagaimana Islam mengatur ekonomi menjadi lebih mudah. Meski tentu saja tidak boleh berhenti di situ, tapi dilanjutkan dengan mengenalkan tema-tema keislaman yang lain.

Pengertian Ekonomi Islam
  Islam adalah agama dan ideologi, mengatur seluruh hajat hidup manusia. Sebagaimana Allah adalah Pencipta manusia, memenuhi seluruh hajat hidup mereka. Sementara Rasulullah Shollaallahu Alaihi wa Sallam adalah manusia yang dipilih untuk menjelaskan teori pengaturan itu dan memberikan contoh nyata bagaimana mekanisme pelaksanaannya. Para khalifah dan ulama sesudahnya memperkaya sistem mengikuti realitas yang terus berkembang. Ekonomi Islam dibangun di atas landasan tersebut. Oleh karenanya tak mungkin merumuskan sistem ekonomi Islam tanpa meletakkannya dalam kerangka besar yang bernama dienul Islam dengan segenap elemennya. Jika ekonomi Islam dicerabut dari kerangka yang membingkainya, ia menjadi makhluq asing dan akan menjadi kuda tunggangan untuk mencari dunia belaka. Masih membenci riba, mengingat halal haram dan sebagainya, tapi tak ambil peduli dengan kemiskinan di lingkungannya, mencegah harta menumpuk di tangan orang-orang kaya, amar makruf nahi munkar, jihad fi sabilillah dan
iqomatuddin. Secara sederhana, ekonomi Islam adalah konsep tentang tata cara mendapatkan harta/kekayaan dan membelanjakannya menurut hukum dan adab yang terkandung dalam syariat Islam . Pengertian ini bisa dibawa pada kasus individu maupun negara. Hal yang harus diingat, salah satu asas pertimbangan dalam ekonomi Islam adalah aspek adab atau etika. Boleh jadi secara hukum dibenarkan, tapi secara adab tidak. Berbeda dengan sistem non Islam yang hanya bersandar pada konstitusi yang berlaku dan kepuasan
pemilik harta. Ekonomi Islam bukan soal harta benda dan manfaatnya semata. Tapi soal bagaimana maqashid syariah dapat diraih dengan hal-hal yang bersifat kebendaan dan kekayaan itu. Oleh karenanya, Islam tidak memberi bobot nilai kekayaan terhadap barang-barang yang tampak berharga tapi haram seperti khamer dan babi, padahal dari sisi ekonomi bisa menguntungkan. Demikian pula mengabaikan beberapa bentuk transaksi seperti saat ibadah jumat, riba dan perjudian karena dapat merusak keimanan manusia, meski bisa melahirkan keuntungan secara materi.

Filosofi Ekonomi Islam
 
Filosofi yang melandasi ekonomi Islam adalah aqidah dan akhlaq. Ia menjadi landasan utama dalam melakukan aktifitas ekonomi, sebagaimana dalam menjalankan ajaran Islam lain. Tak mungkin idealisme ekonomi bisa terwujud tanpa landasan aqidah yang kokoh. Sejarah juga memperlihatkan bahwa pengaturan ekonomi Islam turun belakangan setelah aspek aqidah, ibadah dan politik tertata lebih kokoh.

  1. Aqidah (keyakinan) yang melandasi aktifitas ekonomi adalah keyakinan bahwa semua materi yang Allah berikan di dunia, hanya berupa pinjaman untuk dipelihara dan dimanfaatkan dengan dasar amanat. Oleh karenanya, kelak akan ditanyakan semuanya At-Takatsur/ 102:8] Sehingga hubungan manusia dengan alam adalah hubungan kecintaan dan harmoni, bukan eksploitasi tanpa kendali.
  2. Keyakinan bahwa Allah membagi rizki kepada manusia sesuai taqdirny masing-masing, maka tidak sama. Manusia tidak boleh iri kepada yang lain soal besarnya rizki, tapi boleh bersaing dalam mencurahkan tenaga dan kreatifitas dalam usaha. [An-Nahl/16: 71].
  3. Keyakinan bahwa Allah mencukupi kebutuhan semua ciptaan-Nya, maka jika ada yang kelaparan pasti penyebabnya bukan tidak adanya bahan makanan, tapi ada orang yang memakan jatah temannya.[Al-Hijr/15: 21].
  4. Akhlaq juga menjadi elemen yang sangat penting dalam aktifitas ekonomi Islam, diantaranya larangan menimbun padahal komoditas yang ditimbun miliknya sah dan halal. Rasulullah Shollaallahu Alaihi wa Sallam bersabda: ( Siapa yang memainkan harga di tengah umat Islam agar menjadi mahal, Allah berhak memberinya kursi api dari tulang di akhirat kelak. HR. Ahmad.)

Tujuan Ekonomi Islam
 
Ekonomi Islam sebagai salah satu bagian dari syariat, memiliki tujuan sebagaimana tujuan syaruat yang lain, yaitu:


1. Memelihara Dinul Islam
2. Memelihara Jiwa.
3. Memelihara Akal.
4. Memelihara Keturunan.
5. Memelihara Harta.


Kelima tujuan ini menjadi muara semua elemen syariat. Dalam hal memelihara dinul Islam, ekonomi memegang peran penting. Bahkan, ada harta yang diberikan kepada muallaf oleh Rasulullah Shollaallahu Alaihi wa Sallam agar agamanya kuat dan tidak mengganggu Islam. Dalam hal memelihara jiwa, harta penting. Bahkan harta yang haram sekalipun bisa didispensasi untuk dimanfaatkan dalam rangka memelihara jiwa. Dalam hal akal, harta juga penting. Pendidikan merupakan salah satu cara memelihara akal seorang muslim agar tetap dalam garis fitrahnya. Dalam hal keturunan, menikah membutuhkan mahar, dan mahar harus bisa diukur secara materi, kecuali dalam kondisi darurat. Adapun dalam hal memelihara harta, sistem ekonomi Islam bahkan sangat menghargainya. Larangan riba, mencuri dan menipu merupakan bagian dari perhatian Islam terhadap pemeliharaan harta seorang muslim. Maka ekonomi Islam harus bisa memberi peran untuk terpenuhinya lima tujuan syariah di atas. Jika ekonomi Islam hanya berkutat sebagai alat mencari kekayaan duniawi dengan melupakan tujuan syariat yang lain, ia telah keluar dari relnya. Harus diingat, tercapainya kelima tujuan di atas harus dibingkai dengan paradigma keumatan, bukan kebangsaan. Ekonomi Islam akan kehilangan relevansinya jika dibingkai dengan paradigma kebangsaan.

Ekonomi Islam Ideal
 
Segala sesuatu harus ada ukuran idealnya, atau indikator keberhasilan. Pertanyaan menarik; apa indikator ideal perjuangan menegakkan sistem ekonomi Islam? Sistem ekonomi Islam hanya ideal jika lahir dari rahim daulah Islam dan diasuh olehnya. Sistem ini pada masa lalu disebut dengan Baitul Mal. Intinya tentang mekanisme pengelolaan keluar dan masuknya harta dengan menggunakan paradigma keumatan. Masuk bisa berasal dari umat Islam atau
dari non Islam, dan distribusinya dilakukan dengan mekanisme yang diatur syariat demi kemaslahatan umat Islam.Bank Islam (sebutan yang lebih populer di dunia Internasional untuk Bank Syariah di Indonesia) hanya salah satu elemen dari lembaga usaha berdasarkan Islam. Bank Islam sejauh ini belum bisa mewakili konsep Baitul Mal dalam peran dan fungsinya, sebab Bank Islam masih dimiliki swasta dan mengemban misi mencari keuntungan bagi pemilik modal. Umat Islam yang bertransaksi dengan Bank Islam, hampir sama dengan pembeli yang bertransaksi dengan warung sembako. Bedanya, yang satu membawa nama Bank, yang lain membawa nama warung. Bedanya lagi, jenis jasa yang diberikan Bank lebih banyak dari jasa yang bisa diberikan warung sembako. Bandingkan misalnya dalam hal transaksi murabahah. Pedagang di pasar melakukannya. Transaksi mudharabah, bahkan menjadi tradisi kampung. Transaksi musyarakah, beberapa orang juga bisa melakukannya. Toh intinya, tak melanggar syariah dan sama-sama diuntungkan. Sehingga kehadiran bank Islam di tengah komunitas muslim saat ini baru sebatas memberi alternatif syariat untuk muamalah dengan perbankan, karena bagaimanapun bank Islam adalah lembaga usaha seperti halnya lembaga usaha lain yang menghajatkan profit.Tapi bukan berarti kita hendak mengecilkan arti keberadaan Bank Islam. Kemunculannya dan perkembangannya menjadi fenomena hingga kini, dan diakui atau tidak, menjadi ancaman nyata bagi perbankan riba yang dikuasai Yahudi dunia. Bahkan kritik dari beberapa kalangan terhadap praktek Bank Islam tidak boleh membuat kita antipati terhadapnya. Wajar belaka, ia lahir bukan dari rahim Daulah Islam dan tidak diasuh olehnya. Ia ibarat Musa as, yang dibesarkan oleh sistem yang menjadi musuhnya sendiri. Maka jika ada kekurangan dan kekeliruan sana sini, kita hanya boleh memberikan kritik yang membangun dengan semangat husnu dhan kepada sesama muslim, bukan kritik menjatuhkan. Tidak layak kita menjadi orang yang mengaku benar hanya karena merasa bisa menemukan kekeliruan orang lain. Sistem ekonomi Islam, atau Baitul Mal, memiliki peran yang sangat luas. Ia laksana lumbung harta bagi umat Islam. Siapa yang mampu, berkewajiban mengisi lumbung tersebut, dengan mekanisme yang telah diatur syariat dan dijabarkan oleh para ulama. Sebaliknya yang butuh, dibantu dengan semangat pemberdayaan dan pembelaan, bukan kezaliman. Baitul Mal agar memainkan fungsi itu, harus menjadi lembaga milik pemerintah (Islam), bukan lembaga individu atau swasta atau golongan tertentu yang masih dikendalikan oleh kepentingan- kepentingan non keumatan. Oleh karenanya, ekonomi Islam bukan hanya soal jual beli, murabahah, mudharabah, musyarakah, salam, istishna, rahn, ijarah dan sebagainya yang menjadi produk-produk Bank Islam, tapi juga mengelola zakat, wakaf, shadaqah, kafarat, ghanimah, fai, kharaj, usyur, dharibah, infaq fi sabilillah dan sebagainya dalam satu atap dengan bingkai keumatan. Juga bagaimana mengatur pasar, timbangan, takaran, dan harga pada kasus tertentu. Pertanyaan yang layak direnungkan dengan seksama: bisakah sistem ekonomi Islam dengan fungsi dan karakter demikian dimunculkan di tengah hegemoni sistem politik yang bukan Islam? Mengingat mayoritas penduduk negeri ini muslim? Untuk muncul dalam sosok yang sempurna, dengan segera bisa kita jawab; tidak. Sebab tak mungkin umat Islam mengelola pemasukan dari ghanimah, fai dan usyur. Tapi masih bayak elemen lain yang masih bisa, misalnya zakat, wakaf, sedekah, kafarat dan lain-lain. Pengguliran dana yang terhimpun juga bisa beragam, sesuai dengan peruntukan masing-masing. Bila dari sumber zakat, disalurkan dengan mekanisme yang diatur dalam zakat. Bila wakaf, bisa disalurkan dengan mekanisme wakaf. Bila harta titipan (tabungan) individu, bisa menggunakan berbagai variasi seperti dalam bank Islam. Seiring gema otonomi daerah, rasanya masih mungkin melahirkan embrio ekonomi Islam di tengah komunitas muslim, tentu dengan dukungan pemerintah daerah masing-masing, dan dengan ukuran sebesar daerah masing-masing.

Elemen Pendukung Ekonomi Islam Istilah ekonomi Islam jangan langsung dihubungkan dengan uang. Ada elemen-elemen pendukung yang menjadi bagian tak terpisahkan darinya. Beberapa diantaranya:
  1. Pengelolaan zakat. Zakat hendaknya dikelola terpusat, bukan tiap orang menyerahkan sendirikepada orang yang dinilainya mustahiq. Pada zaman khilafah, dikelola olehBaitul Mal yang terpusat. Jika belum mungkin, bisa dikelola LSM atau pemerintah daerah, agar asas pemerataan lebih terjamin. Hikmah zakat dikelola oleh Baitul Mal, agar mustahiq tidak merasa tangannya di bawah sebab yang memberi adalah negara sebagai bagian dari tanggung-jawabnya terhadap rakyat. Berbeda jika zakat diberikan langsung oleh muzakki kepada mustahiq, ia akan memiliki beban psikologis sebagai tangan di bawah.
  2. Pengelolaan wakaf . Wakaf adalah suatu harta yang dihilangkan status kepemilikannya dari manusia menjadi milik Allah. Selain wakaf berupa tanah dan bangunan, kini mulai dipopulerkan istilah wakaf tunai atau wakaf berupa uang untuk digulirkan bagi kemaslahatan umat.
  3. Pengelolaan harta non zakat dan wakaf Harta non zakat dan wakaf banyak bentuknya seperti warisan yang tidak ada ahli warisnya, sedekah, kifarat, infaq fi sabilillah, pinjaman murni dan lain-lain.
  4. Pengawasan pasar dan perdagangan. Pasar merupakan pusat perputaran kekayaan, meski bentuk fisiknya berkembang terus mengikuti perkembangan zaman. Pasar tempat orang bertransaksi, dengan beragam bentuk. Sudah seharusnya bagi seorang muslim memahami hukum yang berkaitan dengan perniagaan sebelum ia memulainya. Selain itu, harus ada kontrol terus menerus terhadap aktivitas perdagangan, misalnya kontrol terhadap takaran dan timbangan untuk memastikan tak ada pihak yang dizalimi. Salah satu yang perlu diperjuangkan adalah kembalinya emas dan perak sebagai alat ukur nilai nominal suatu benda. Saat ini ukuran nominal suatu benda sangat fluktuatif, karena alat ukurnya adalah rupiah yang bergerak terus naik turun mengikuti situasi politik. Ketika seseorang meminjamkan uang rupiah pada pada tahun 1996 sebelum krismon senilai 1 juta, lalu tahun 2000 pasca krismon menerima pelunasan utangnya senilai 1 juta juga, si pemberi pinjaman dalam posisi terzalimi karena 1 juta pada 2000 hanya seperlima nilai 1 juta pada 1996. Berbeda jika ia meminjamkan dalam ukuran emas.
  5. Pendidikan fiqh muamalat bagi umat. Cita-cita menegakkan sistem ekonomi Islam tak bisa dilepaskan dari pendidikan masyarakat terhadap hukum-hukum fiqh seputar muamalat. Bahkan, sebelum seseorang berdagang di pasar, ia harus memiliki sertifikat kelulusan tes fiqh muamalat.
  6. Memberantas semua praktek riba, gharar, maisir. Memberantas riba diawali dengan penyadaran, lalu tawaran solusi, dan jika tidak mempan, paksaan dengan kekuatan. Dominasi riba di negeri ini telah merasuk hingga tingkat RT. Buktinya, kas RT jika dipinjamkan kepada anggota, harus dikembalikan dengan bunga.
  7. Menegakkan sistem peradilan Islam Salah satu yang diperlukan dalam pelaksanaan sistem ekonomi Islam adalah sistem peradilan Islam. Kasus-kasus dalam muamalat bisa diselesaikan melalui peradilan ini, karena ia yang memahami karakter dan logikanya. Adapun peradilan non syariat, logika yang mendasarinya tidak mendukung 
Konsep ekonomi Islam Melawan Riba
Melawan riba sudah pasti, karena larangannya muhkam dan menjadi ijma ulama tak ada keraguan di dalamnya. Kalaupun ada masalah, bukan pada pengakuan haramnya riba, tapi pada perbedaan pandangan apakah sesuatu itu riba atau bukan. Satu pihak menyimpulkan hal itu riba, pihak lain mengatakan tidak. Tapi sekiranya sesuatu itu disepakati sebagai riba, semuanya sepakat haram. Persoalannya, bisakah mengalahkannya? Mengingat riba hari ini dalam puncak kedigdayaannya. Bukan lagi terjadi antar individu, tapi oleh negara bahkan antar negara. Puncak hegemoni itu tentu dengan naiknya dolar sebagai penguasa tunggal ekonomi dunia. Semua nilai harus tunduk pada dolar. Hutang piutang harus diukur dengan dolar. Apapun komoditi harus dinilai dengan dolar, bahkan emas dan perak sekalipun yang secara sejarah dan sunnatullah sebagai alat ukur nilai nominal suatu benda. Untuk kita, mengalahkan riba adalah karunia, tapi pekerjaan yang tidak boleh berhenti adalah melawannya kapanpun dan di manapun. Allah telah membekali kita dengan senjata mudharabah dan bentuk-bentuk lain yang dijabarkan dalam fiqh, sebagaimana dalam politik Allah membekali kita dengan konsep jihad fi sabilillah. Setidaknya, kita bisa merumuskan beberapa strategi melawan riba, untuk sekedar contoh bukan membatasi: 
  1. Diri kita sendiri harus mengerti apa itu riba, dan bertekad meninggalkannya.
  2. Keluarga kita harus dipastikan terhindar darinya.
  3. Lingkungan RT, jika masih menggunakan mekanisme riba, kita harus ikut mengingatkannya.
  4. Mendidik masyarakat tentang hakekat riba, dan berupaya memberi solusi,misalnya dengan mendirikan koperasi syariah atau BMT.
  5. Menghindari urusan dengan bank yang beroperasi dengan sistem riba.
  6. Mendukung penggunaan emas sebagai alat ukur nilai nominal dalam utang-piutang.

Melawan Kemiskinan
Kemiskinan adalah keniscayaan kehidupan. Penyebabnya, bisa kultural, bisa pula struktural. Tapi yang pasti, Allah telah memberi potensi rizki kepada semua makhluq ciptaan-Nya, jika terbagi rata pasti tidak ada kemiskinan. Dengan demikian, yang salah bukan Pencipta, tapi manusia karena ada yang rakus saat ia menguasai pundi-pundi kekayaan.Untuk yang bersifat struktural, konsep Baitul Mal bisa menjadi unsur penting solusi. Tentu jalur politik tidak kalah penting, karena kebijakan-kebijakan yang terkait ekonomi tunduk pada kalkulasi politik. Sementara yang bersifat kultural, pendidikan dan pengajaran kuncinya. Nabi Shollaallahu Alaihi wa Sallam pernah memberi seutas tali kepada seseorang yang sebelumnya meminta-minta, dan diperintahkannya untuk mencari kayu. Belakangan orang ini memiliki kepercayaan diri yang baik bahwa jika berusaha ternyata ia juga bisa sebagaimana yang lain. Mental dan kepercayaan diri menjadi unsur terpenting problema kultural. Namun harus diingat, kebangkitan Islam bukan bertumpu pada kekayaan. Umat Islam pada masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin mampu mendirikan negara  berdaulat dan menaklukkan Romawi dan Parsi bukan karena terlebih dahulu kaya lalu bisa menang. Tapi yang terjadi, kekayaan mengikuti kemanapun pedang berjalan. Justru karena bermula dari kemiskinan dan kerasnya kehidupan, jiwa mereka terasah laksana batu karang yang kokoh.
Tapi yang lebih tepat, kita berupaya mengurangi porsi kekayaan orang-orang kafir dan orang-orang yang benci Islam seminimal mungkin sebab jika mereka menguasai ekonomi mereka akan menggunakannya untuk mengganggu Islam dan umat Islam. Simak firman Allah berikut: ( Sesungguhnya orang-orang kafir membelanjakan hartanya untuk menghalangi jalan Allah, maka mereka akan membelanjakannya (lagi), kemudian akan menjadi kerugian bagi mereka, kemudian akan dikalahkan. Dan orang-orang kafir itu akan dikumpulkan di neraka Jahannam. [Al-Anfal/8: 36])
Berkurangnya porsi penguasaan orang-orang kafir terhadap pundi-pundi harta, tidak harus bermakna kekayaan itu dinikmati umat Islam. Sebab sejarah juga mengajarkan kepada kita, godaan kekayaan dunia tidak lebih mudah diredam dibanding malapetaka kemiskinan. Kekayaan hanya baik di tangan pemerintah yang baik, masyarakat yang baik, pejabat yang baik, keluarga yang baik, bahkan individu yang baik. Tentu baik di sini adalah baik menurut Islam. Allah mentaqdirkan Indonesia sulit beranjak dari kemiskinan barangkali tersirat pesan hikmah di baliknya: menjadi peluang mendidik kader-kader tangguh sebagaimana kemiskinan yang melilit jazirah Arab pada zaman Nabi. Ingatlah orang bijak berpesan: peluang terbaikmu adalah saat ini, bukan nanti. Tak ada rumusnya menunggu kaya baru berbuat. Khatimah Tak ada pencapaian besar tanpa berawal dari yang kecil. Menegakkan sistem ekonomi Islam baru pada ayunan langkah pertama, masih jauh dari target yang diharapkan. Melawan riba dan kemiskinan juga demikian. Meruntuhkan bangunan riba, bukan semata terkait dengan aspek ekonomi. Sebab sistem ekonomi riba menjadi satu paket dengan sistem politik demokrasi dan kapitalisme. Keduanya menjadi urat nadi; riba menjadi urat sistem ekonominya dan demokrasi menjadi urat politiknya. Melawan riba dengan demikian bisa juga dilakukan dengan pendekatan futuhat islamiyah, meski mata telanjang tak melihat adanya hubungan. Artinya, bagi yang berjuang melalui jalur futuhat islamiyah, jangan dianggap ia tak ikut menjadi pejuang ekonomi Islam. Oleh karenanya, hendaknya masing-masing jalur saling menyamakan visi dengan pola link and match (berjalin dan beriringan). Tidak produktif jika saling sikut, toh idealisme yang dituju sama.Tulisan ini kalaupun membawa manfaat semoga itupun sebatas penyadaran secara wacana. Harus dilanjutkan dengan gagasan-gagasan riil yang langsung menyentuh akar masalah. Allah memberi kita anugerah akal mengandung pesan yang jelas: apapun problema yang dihadapi manusia, akan selalu ditemukan jalan keluarnya.
Umat Islam tidak selayaknya selalu mengkambing- hitamkan sistem politik yang menyebabkan mereka miskin. Bila sistem bisa dirubah agar lebih berpihak kepada umat Islam, alhamdulillah. Jikapun tidak, kita tak boleh berpangku tangan dan meratapi kemiskinan. Banyak orang yang mampu mentas dengan izin Allah dari kemiskinan saat krisis ekonomi berkecamuk dan tak adanya kebijakan politik yang pro wong cilik. Sekali lagi, inilah peluang untuk mengasah ketangguhan dan kecerdikan. Terakhir, mari kita aktualkan ArRum/30: 39 

Dengan teriring harapan, semoga upaya kita menegakkan sistem ekonomi Islam mendapat ridha dan pertolongan dariAllah. Amien ya Mujibas Sailin.
Wallahu alam bis shawab.
Terima kasih atas kunjungan nya, Untuk Melihat Artikel lainnya,
Silahkan Lihat Daftar Isi

Suluah Bendang

thumbnail Ekonomi Islam.
Author by : Edi Murfin. Senin, 16 September 2013
Description : Ekonomi Islam - Belakangan ini, makin menarik perbincangan seputar ekonomi Islam. Salah satu pemicu utama, keberhasilan perbankan syari...

Mari Bantu Membagikan Ekonomi Islam ini. Melalui Sosial Media Dibawah, Insya Allah akan membawa Baraqah bagi kita semua. Aamiin YRA

Bagikan Ekonomi Islam

Posting Komentar

 
 
 
Top